Aku adalah sebuah buku catatan kecil bersampul biru yang tinggal di dalam sebuah laci. Pemilikku adalah seorang gadis cantik berumur 16 tahun bernama Keshia yang sangat baik. Aku hidup bersama Keshia sejak satu bulan yang lalu. Walaupun aku tidak bisa berkomunikasi secara langsung dengan Keshia, tapi aku selalu merasa sudah menjadi sahabatnya.
Entah mengapa Keshia selalu mengeluarkanku dari laci hanya setiap sore ketika hujan turun. Sepertinya ia adalah pecinta hujan. Mungkin menurutnya aku dan hujan adalah sebuah kesatuan yang indah. Aku selalu melihat sorot takjub dari bola matanya yang jernih setiap kali menatap hujan dari balik jendela kamarnya. Kemudian semangat yang meluap ketika ia menorehkan pena di atas lembaranku. Keshia seperti menemukan dirinya yang sebenarnya setiap hujan turun.
Karena itu aku juga mulai menyukai hujan. Dulu aku sangat membenci hujan, karena tetesannya dapat membasahi kertas-kertasku. Tetapi Keshia seolah memberitahuku apa arti hujan yang sebenarnya. Aku mulai menyadari tentang suasana sejuk yang selalu ku rasa setiap hujan turun, bau tanah yang tercium, dan bunyi tetesannya yang membentur tanah. Semuanya benar-benar indah.
Aku hafal kebiasaan Keshia. Apabila hujan turun ketika ia sudah pulang dari sekolah, maka ia akan mengambilku dari dalam laci dan duduk di kursi belajar yang tepat berada di samping jendela. Kemudian mulai menulis tentang perasaan hatinya.
Tetapi Keshia tidak mencurahkan isi hatinya padaku seperti gadis lainnya apabila sedang menulis diary. Keshia akan mengambil dua lembar kertasku kemudian membuat dua buah surat. Surat yang pertama adalah surat untuk hujan. Apabila ia sudah selesai menulis segala macam kejadian yang telah ia lewati, maka ia akan membentuk kertas itu menjadi sebuah pesawat kertas kemudian menerbangkannya di antara tetesan hujan.
Awalnya aku merasa tindakan yang dilakukan oleh Keshia adalah sia-sia. Sekeras apa pun Keshia berusaha untuk menerbangkan kertas itu, hal itu tidak akan terwujud. Suratnya itu pasti akan langsung rusak karena basah. Tetapi aku mulai mengerti ketika menatap sorot bahagia di mata Keshia setiap kali menatap suratnya yang jatuh dan layu bersama butiran hujan. Keshia pasti tidak akan berharap suratnya itu terbang, melainkan berharap suratnya akan jatuh ke tanah bersama hujan. Karena ia yakin apabila suratnya itu melebur bersama hujan, itu berarti hujan telah membaca suratnya dan mengetahui isi hatinya. Keshia benar-benar menganggap hujan adalah sahabatnya.
Surat yang kedua adalah untuk seseorang yang Keshia kagumi. Aku tidak mengetahui namanya karena Keshia tidak pernah memberitahu. Yang aku tahu adalah orang itu selalu Keshia sebut “Sahabat Hujan”. Lalu orang itu merupakan kakak kelas Keshia di sekolah yang rumahnya tepat di sebelah rumah Keshia—hanya dipisahkan oleh sebuah jalan kecil. laki-laki itu dan keluarganya adalah penghuni baru rumah itu. Jendela kamarnya tepat berhadapan dengan jendela kamar Keshia. Aku pun mengerti mengapa Keshia selalu menatap jendela kamarnya dengan penuh semangat. Semua itu ku ketahui ketika Keshia sedang menulis surat untuk hujan yang berisi tentang laki-laki itu.
Namun yang aku tidak mengerti adalah mengapa Keshia tidak pernah mengirimkan suratnya untuk Sahabat Hujannya itu. Apabila ia sudah selesai menulis surat yang kedua, ia hanya akan menaruh surat itu di dalam sebuah kotak kecil yang diletakkan dalam laci yang sama denganku. Tebakan pertamaku adalah Keshia tidak mempunyai keberanian untuk menyampaikan suratnya itu. Dan ternyata itu benar.
Saat ini Keshia sedang duduk bertopang dagu. Wajah cantiknya tampak menerawang jauh. Aku yakin tatapan matanya sedang menembus kaca jendela lalu menembus derasnya tetesan hujan dan berhenti di jendela kamar yang terletak tepat bersebrangan dengan jendela kamarnya. Menatap seseorang yang ia kagumi. Aku ingin sekali melihat laki-laki itu. Aku sering melihat bola mata Keshia yang jernih, berharap dapat menemukan sosok yang sedang ditatapnya itu.
Lalu Keshia melepas pulpen yang tadi ia genggam. Sepertinya ia tidak jadi menulis, padahal ia sudah menyobek dua lembar kertas seperti biasa. Ia hanya menatapku dengan sebuah tatapan bingung dan sedih. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
Kemudian tangannya yang putih mengeluarkan kotak kecil tempat ia menyimpan surat untuk Sahabat Hujan. Ia mengambil surat-surat itu kemudian menaruhnya di atas meja, tepat di sampingku. Lalu memisahkan sebuah surat yang aku kenali sebagai surat pertamanya untuk sahabat hujan kemudian membacanya. Karena surat itu berada tepat di sampingku, maka aku pun ikut membaca bersama Keshia.
Halo. Perkenalkan, namaku Keshia. Aku tinggal di sebelah rumahmu, hanya dipisahkan oleh sebuah jalan kecil. Jendela kamarmu tepat bersebrangan dengan jendela kamarku. Aku ingin sekali berkenalan denganmu. Siapa namamu? Sekolah dimana? Sebelum pindah kesini, kamu tinggal dimana?
Aku akan selalu mengingat hari ini, saat aku menulis surat ini untukmu, dan hujan yang menemaniku saat menulis surat, karena ini lah awal perjumpaan kita. Aku berharap kita akan menjadi teman baik nantinya. Oh ya, aku sangat menyukai hujan. Kebetulan sekali aku melihatmu pertama kali saat hujan turun. Apakah kamu juga menyukai hujan?
Keshia tersenyum membaca suratnya sendiri. Kemudian menggeser surat kedua tepat di sampingku lagi.
Halo. Saat ini aku kembali melihatmu. Dan aku heran mengapa kita bertemu sama seperti pertemuan sebelumnya. Yaitu sore hari ketika hujan turun. Padahal siang tadi aku berhenti di depan rumahmu, untuk mencarimu. Ternyata aku tidak bertemu denganmu.
Aku belum mengirimkan suratku yang pertama untukmu. Alasannya sederhana, yaitu karena aku tidak tahu bagimana cara mengirim surat itu padamu. Lalu aku juga belum punya cukup keberanian untuk mengirimkannya. Aku berharap aku bisa tahu bagaimana cara mengirimkan surat-suratku untukmu, dan juga keberanian untuk melakukannya.
Aku berharap dapat melihatmu lagi. Apakah aku akan melihatmu seperni hari ini dan sebelumnya, yaitu saat sore hari dan hujan sedang turun?
Lalu Keshia membaca suratnya yang ketiga.
Halo. Aku sedih karena sampai saat ini belum mengetahui cara untuk mengirimkan surat untukmu. Keberanian juga belum datang menghampiriku.
Aku mendapat kejutan besar hari ini. Ternyata kamu juga bersekolah di sekolah yang sama denganku. Tetapi di kelas yang berbeda, yaitu satu tingkat di atasku. Mungkin kali ini aku harus memanggilmu dengan sebutan “Kakak”.
Sepertinya aku mendapat kemudahan untuk berkenalan denganmu, yaitu di sekolah. Oh ya, pertemuan kita kali ini sedikit berbeda dari sebelumnya, yaitu di siang hari. Tetapi hujan tetap menemani. Aku mengakui bahwa aku semakin mencintai hujan.
Dan, saat ini pun aku melihatmu. Seperti biasa, yaitu dari jendela kamarku. Kamu duduk di depan jendela, sama sepertiku. Kamu juga menatap derasnya hujan, sama sepertiku. Apakah kamu juga menyukai hujan? Apabila iya, maka aku akan menyebutmu “Sahabat Hujan.”
Surat keempat tampak lebih kusut dari surat sebelumnya. Aku tidak tahu apa sebabnya.
Halo, Sahabat Hujan. Sudah empat hari aku tidak melihatmu. Sudah empat hari juga hujan tidak turun. Apakah hal ini berhubungan?
Kamu tahu, saat ini—saat aku menulis surat ini, setiap 5 menit sekali aku selalu menengok ke arah jendela kamarmu, berharap dapat menemukanmu. Hatiku terus berharap agar hujan segera turun. Karena entah mengapa aku yakin aku akan melihatmu apabila hujan turun.
Oh, hujan mulai turun. Dan.. aku juga melihatmu! Kamu sedang berdiri di depan jendela kamarmu, dengan wajah menatap hujan. Aku sadar wajahmu sedikit lebih pucat. Ada apa denganmu, Sahabat Hujan? Apakah kamu sedang sakit?
Aku akan membiarkan hujan kali ini sebagai hujan untuk kita. Mungkin itu hanya sebutan dariku. Oh ya, aku masih bertanya-tanya, kapan aku akan mengirimkan surat-surat ini padamu? Kapan aku bisa berkenalan denganmu? Sudah lebih dari 1000 detik aku menunggu untuk hadirnya keberanian dalam diriku.
Tetapi aku berharap hujan dapat menyampaikan perasaanku padamu. Aku berharap lewat hujan kita dapat berkenalan dan menjadi sahabat.
Itu lah isi dari surat-suratnya. Kini, aku merasakan kekesalanku pada Keshia. Menurutku, Keshia bertindak seperti pengecut. Ia tidak berani untuk mengeluarkan perasaannya secara langsung. Bahkan hanya untuk berkenalan. Ia hanya bisa mengungkapkan perasaannya pada lembaran kertasku, pada hujan, dan pada hatinya sendiri. Tidakkah ia sadar bahwa semua yang ia lakukan itu sia-sia? Ia tidak akan pernah berkenalan dengan Sahabat Hujannya apabila ia tidak mempunyai keberanian. Ia tidak akan mendapat keuntungan dengan mencurahkan isi hati padaku dan pada hujan. Karena kami semua hanya benda mati. Seandainya aku bisa berteriak, aku ingin sekali meneriakkan kata-kataku tadi padanya.
Keshia mengambil selembar kertasku yang kosong. Kemudian mengambil pulpen. Aku yakin ia akan menulis surat lagi. Aku pun bersiap-siap untuk membaca isi suratnya.
Halo, Sahabat Hujan. Ini adalah suratku yang kelima untukmu. Dan aku berjanji akan menjadikan surati ini sebagai yang terakhir.
Aku akan menemuimu secara langsung. Aku harus menemukan keberanianku bagaimana pun caranya. Karena aku sadar, aku tidak akan pernah bisa berkenalan denganmu apabila tidak memiliki keberanian. Semua surat yang telah ku tulis untukmu itu tidak berarti apa pun, karena mereka hanya lah benda mati. Mereka tidak akan bisa membantuku.
Selama ini aku mengakui bahwa aku bertindak seperti seorang pengecut. Aku menjadikan hujan sebagai tirai persembunyianku. Karena hanya hujan lah yang bisa menyembunyikanku. Tidak akan ada orang yang mengetahui bahwa aku sedang menatapku apabila aku bersembunyi di dalam hujan. Dan aku sadar bahwa sikapku itu salah.
Sahabat Hujan, aku ingin mengaku bahwa aku mengagumi. Lalu setiap menatapmu dari jendela kamarku, aku langsung kagum pada emosi yang tampak di wajahmu. Sorot matamu yang teduh setiap kali melihat hujan.
Aku ingin berterimakasih pada hujan. Karena hujan lah aku bisa bertemu denganmu. Hujan lah yang membuatku bisa menatapmu. Hujan yang selalu mendengar curahan hatiku. Hujan yang telah menjadi sahabatku, dan hujan yang pernah menjadi tempat persembunyianku.
Aku senang membaca isi surat dari Keshia. Sepertinya Keshia juga puas dengan suratnya, karena aku bisa melihat senyum bahagia di wajahnya.
Tamia Setia Tartila-CSR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar